Foto : Beberapa kegiatan Perayaan Natal di Tapteng & Tapsel - sumber : Metro News, CNN Indonesia, IDN Times Sumut)
Natal dalam Tangis dan Kesederhanaan: Kisah Iman Warga Tapteng dan Tapsel
Oleh: Karl Sibarani
Natal seharusnya identik dengan sukacita, lampu berkelip, pakaian baru, dan meja makan penuh hidangan. Namun bagi warga di Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan, Natal tahun ini hadir dalam wajah yang lain: sederhana, sunyi, dan penuh air mata.
Di sejumlah titik pengungsian, ibadah Natal dilaksanakan di bawah tenda darurat. Lantai tanah yang masih lembap, kursi plastik seadanya, dan suara generator yang sesekali menyela kidung pujian menjadi saksi bahwa perayaan kelahiran Sang Juruselamat berlangsung di tengah duka yang belum pulih.
Ibadah Tanpa Gereja, Doa Tanpa Kemewahan
Di Kecamatan Tukka, Tapanuli Tengah, puluhan keluarga berkumpul sejak pagi. Tidak ada pohon Natal berhias megah, tidak ada pakaian baru, bahkan sebagian jemaat datang dengan pakaian yang sama sejak hari pengungsian pertama. Namun ketika lagu Malam Kudus dinyanyikan perlahan, tangis pun pecah.
“Bukan karena kami tidak bersyukur,” ujar seorang ibu paruh baya sambil mengusap air matanya, “tetapi karena Natal kali ini mengingatkan kami pada semua yang hilang—rumah, ladang, dan rasa aman.”
Beberapa gereja dilaporkan rusak berat akibat banjir dan longsor. Jemaat pun beribadah di tenda, posko, bahkan di halaman terbuka. Pendeta yang memimpin ibadah memilih khotbah singkat, lebih banyak memberi ruang doa dan penguatan batin.
“Yesus lahir di palungan, bukan di istana. Natal ini mengingatkan kita bahwa Tuhan tidak pernah menjanjikan kemewahan, tetapi kehadiran-Nya di tengah penderitaan,” ucap sang pendeta, disambut isak jemaat.
Anak-Anak dan Senyum yang Dipaksakan
Di sudut pengungsian, beberapa anak duduk diam, memegang hadiah kecil dari relawan: buku tulis, pensil warna, dan biskuit. Tidak ada kado besar, tetapi relawan berusaha menghadirkan senyum—walau sesaat.
Seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun bertanya lirih kepada ibunya, “Mama, rumah kita nanti balik lagi, kan?”
Sang ibu hanya memeluk, tanpa jawaban.
Natal bagi anak-anak di Tapteng dan Tapsel bukan tentang hadiah, melainkan tentang kehilangan yang terlalu dini mereka pahami.
Natal Tanpa Pesta, Tapi Penuh Makna
Di Tapanuli Selatan, suasana serupa terasa. Jemaat membawa makanan seadanya—nasi, mie instan, dan lauk sederhana—untuk dimakan bersama usai ibadah. Tidak ada pesta, tidak ada tawa riuh. Yang ada hanyalah kebersamaan dan rasa saling menguatkan.
Seorang tokoh jemaat berkata,
“Natal kali ini mengajarkan kami bahwa iman tidak diukur dari seberapa meriah perayaan, tetapi seberapa kuat kami tetap percaya di tengah kesulitan.”
Bagi mereka, bisa berkumpul tanpa kehilangan anggota keluarga adalah anugerah terbesar.
Refleksi Natal dari Tanah yang Luka
Natal di Tapteng dan Tapsel menjadi cermin bagi kita semua. Di saat sebagian merayakan dengan kemewahan, ada saudara-saudara kita yang merayakannya dengan air mata. Di saat sebagian sibuk dengan perayaan, ada jemaat yang masih berdiri di atas lumpur dan puing kehidupan.
Natal tahun ini tidak ramai, tidak gemerlap, tetapi jujur dan telanjang: tentang manusia yang rapuh dan Tuhan yang setia.
Mungkin inilah Natal yang paling dekat dengan maknanya—Natal yang lahir dari kesederhanaan, penderitaan, dan pengharapan yang tidak padam.
Di tengah tangis, mereka tetap berdoa. Di tengah kehilangan, mereka tetap percaya. Dan di tengah lumpur, iman mereka tetap menyala.
- Kata Bang Saik -





