KETIKA PRABOWO DIHADANG SUARA RAKYAT!!!
Catatan Satir-Akademik atas Relasi Kekuasaan dan Suara Rakyat
Dalam teori demokrasi deliberatif, suara warga negara merupakan sumber legitimasi kekuasaan. Namun dalam praktik kekuasaan elektoral, suara itu sering kali berhenti tepat setelah bilik suara ditutup. Sebuah video viral baru-baru ini memperlihatkan paradoks tersebut secara gamblang dan—ironisnya—sangat sederhana.
Dalam iring-iringan kendaraan presiden, Presiden Prabowo Subianto berdiri di kap sunroof, menyapa rakyat. Sebuah simbol kedekatan yang lazim dalam politik visual. Namun simbol itu diuji oleh realitas ketika seorang bapak menghadang dan menyampaikan kritik lugas:
“Saya memilih bapak, tapi aparatur bapak tidak bener semuanya.”
Mobil terus melaju. Negara bergerak. Kritik tertinggal.
Secara akademik, ini bukan peristiwa kecil. Ini adalah ekspresi disonansi demokratis—kondisi ketika legitimasi elektoral tidak sepenuhnya berbanding lurus dengan kepuasan administratif. Rakyat memilih pemimpin, tetapi berhadapan dengan aparatur yang tidak mereka pilih, tidak mereka kendalikan, dan sering kali tidak melayani.
Kemenangan Prabowo–Gibran sebesar 58,58% pada Pilpres 2024 adalah fakta statistik yang sah. Namun dalam ilmu politik, mayoritas elektoral bukan kontrak kosong untuk kekuasaan tanpa koreksi. Mayoritas hanyalah mandat awal, bukan cek kosong untuk mengabaikan suara minor, apalagi suara yang datang dari basis pemilih sendiri.
Di sinilah satir kekuasaan bekerja:
Presiden disambut sorak, tetapi yang berteriak justru dikategorikan “gangguan protokoler”.
Lebih problematik lagi adalah fenomena ABS (Asal Bapak Senang), sebuah konsep informal namun sangat mapan dalam birokrasi Indonesia. Dalam literatur administrasi publik, ini sepadan dengan upward accountability bias—akuntabilitas yang hanya mengalir ke atas, bukan ke bawah. Akibatnya, laporan terlihat rapi, data tampak indah, sementara kenyataan di lapangan compang-camping.
Sejarah memberi pelajaran mahal. Kejatuhan Soeharto bukan sekadar akibat krisis moneter, tetapi hasil akumulasi dari sistem laporan semu, birokrasi takut, dan pemimpin yang terlalu lama percaya bahwa stabilitas adalah fakta, bukan narasi yang dipelihara. Ketika realitas akhirnya menabrak istana, semuanya sudah terlambat.
Ironinya, situasi serupa mulai tampak dalam penanganan bencana alam mutakhir. Hingga kini, status bencana nasional belum ditetapkan, meskipun indikator sosial—korban jiwa, kerusakan infrastruktur, lumpuhnya aktivitas ekonomi—telah memenuhi banyak parameter objektif. Dalam perspektif kebijakan publik, keterlambatan ini mencerminkan gap antara keputusan politik dan urgensi kemanusiaan.
Secara satir dapat dikatakan:
Negara sedang sibuk menata narasi, sementara rakyat masih berdiri di lumpur.
Dalam konteks ini, suara bapak yang menghadang mobil presiden menjadi simbol feedback demokrasi yang gagal diproses. Ia bukan ancaman stabilitas. Ia justru alarm dini. Dalam teori sistem, alarm yang diabaikan tidak akan berhenti berbunyi—ia akan berubah menjadi kerusakan sistemik.
Presiden seharusnya lebih curiga pada pujian daripada pada kritik. Karena pujian tidak pernah menjatuhkan kekuasaan, tetapi kritik yang diabaikan sering kali melakukannya. Kepercayaan publik bukan variabel konstan; ia fluktuatif, rapuh, dan dapat runtuh dalam hitungan detik—bahkan lebih cepat dari laju sebuah kendaraan dinas.
Akhirnya, kekuasaan yang sehat bukan diukur dari seberapa tinggi pemimpin berdiri di sunroof, tetapi seberapa rendah ia bersedia turun untuk mendengar. Sebab dalam demokrasi, rakyat tidak pernah benar-benar diam. Mereka hanya menunggu sampai suaranya tak lagi punya pilihan selain menjadi kemarahan.
Dan sejarah selalu konsisten dalam satu hal:
pemimpin yang terlalu lama mendengar ABS, pada akhirnya akan mendengar rakyat—dalam bentuk yang jauh lebih keras.
- Kata Bang Saik -





