Senin, 22 Desember 2025

Pohon Natal: Simbol Iman atau Sekadar Dekorasi Musiman?


Pohon Natal: Simbol Iman atau Sekadar Dekorasi Musiman?
Oleh: Karl Sibarani

Setiap Desember tiba, pohon-pohon Natal menjamur di mana-mana: di gereja, pusat perbelanjaan, hotel, kantor, hingga sudut-sudut rumah. Tingginya beragam, hiasannya berlomba-lomba memikat mata, lampunya berkelip tanpa henti. Pohon Natal seolah telah menjadi ikon wajib Natal. Namun pertanyaannya:

apakah ia masih simbol iman, atau telah bergeser menjadi dekorasi musiman semata?

Natal sejatinya adalah peristiwa iman: Allah yang merendahkan diri, hadir sebagai manusia, lahir dalam kesederhanaan palungan. Ironisnya, cara kita merayakan Natal hari ini sering kali berbanding terbalik dengan pesan kelahiran itu sendiri. Di tengah gegap gempita hiasan, kita justru berisiko kehilangan keheningan yang melahirkan makna.

Dari Simbol Kehidupan ke Simbol Konsumsi
Secara historis, Pohon Natal lahir sebagai simbol kehidupan dan harapan. Pohon hijau abadi di musim dingin dimaknai sebagai tanda bahwa hidup tidak pernah benar-benar mati. Kekristenan kemudian memberi makna baru: kehidupan kekal di dalam Kristus, Sang Terang Dunia.

Namun dalam lintasan waktu, makna itu perlahan terkikis. Pohon Natal kini sering diperlakukan sebagai objek estetika dan status sosial. Semakin tinggi, semakin mahal, semakin mewah—seakan iman dapat diukur dari gemerlap dekorasi. Natal pun berisiko tereduksi menjadi festival belanja, bukan perayaan inkarnasi.

Gereja dan Godaan Simbolisme Kosong
Gereja tidak luput dari godaan ini. Ada gereja yang begitu serius mengurusi tata lampu, tema dekorasi, dan panggung Natal, tetapi lalai membangun ruang perenungan dan pertobatan. Pohon Natal berdiri megah, namun pesan salib nyaris tak terdengar. Kita lupa bahwa terang Natal tidak pernah dimaksudkan untuk menyilaukan mata, melainkan menerangi hati.

Di sinilah kritik perlu disuarakan, bukan untuk menolak Pohon Natal, melainkan mengembalikannya ke fungsi semula: alat pengingat, bukan pusat perhatian. Simbol yang menunjuk pada Kristus, bukan menggantikannya.

Natal yang Kehilangan Sunyi
Yesus lahir tanpa sorotan kamera, tanpa dekorasi, tanpa tepuk tangan. Natal pertama justru lahir dalam sunyi. Maka, ketika Natal hari ini kehilangan keheningan, kita patut bertanya: jangan-jangan yang kita rayakan bukan lagi kelahiran Kristus, melainkan kelahiran ego dan gengsi.
Pohon Natal seharusnya mengingatkan kita pada dua hal: kehidupan dan pengorbanan. Bahwa hidup baru lahir dari kerendahan hati, dan terang sejati bersumber dari kasih yang rela berkorban. Jika tidak, ia hanya akan menjadi benda mati yang dipajang setahun sekali—indah, tapi hampa.

Penutup
Pohon Natal bukan masalah iman. Sikap kitalah yang menentukan maknanya. Ia bisa menjadi sarana pewartaan yang kuat, atau sekadar ornamen musiman yang tak menyentuh nurani.

Natal bukan tentang seberapa indah kita menghias ruang, melainkan seberapa sungguh kita membuka hati.
Jika Pohon Natal masih berdiri tegak, biarlah ia berdiri sebagai saksi:
bahwa di tengah dunia yang bising dan konsumtif, iman masih berakar, harapan masih hijau, dan Kristus tetap pusat Natal kita.

- Kata Bang Saik -