Selasa, 16 Desember 2025

SETAN ITU AGAMANYA APA??


SETAN ITU AGAMANYA APA???
Sebuah Renungan Lintas Iman tentang Kejahatan, Tanggung Jawab, dan Wajah Manusia

Oleh : Karl Sibarani

Pertanyaan “setan itu agamanya apa?” terdengar provokatif, bahkan satir. Namun justru dari pertanyaan inilah kita dipaksa bercermin: jangan-jangan selama ini kita terlalu mudah menyalahkan setan, sementara kejahatan paling rapi, paling sistematis, dan paling kejam justru lahir dari tangan manusia sendiri.

SETAN DALAM PERSPEKTIF AGAMA-AGAMA
1. Islam
Dalam Islam, setan (Iblis) bukan Tuhan tandingan, bukan pula simbol abstrak. Ia makhluk ciptaan Allah dari api, yang membangkang karena kesombongan. Iblis bukan memaksa, hanya membisiki.
Al-Qur’an menegaskan: setan tidak punya kuasa, kecuali pada manusia yang memilih mengikutinya. Artinya, kejahatan manusia tetap hasil keputusan manusia, bukan paksaan setan.

2. Kristen
Dalam Kekristenan, setan dipahami sebagai malaikat yang jatuh (Lucifer), simbol pemberontakan terhadap Tuhan. Ia adalah pendusta dan penggoda. Namun Alkitab juga tegas: manusia jatuh bukan karena setan semata, melainkan karena ketidaktaatan dan hawa nafsu sendiri.
Setan menggoda, manusia yang membuka pintu.

3. Hindu
Dalam Hindu, konsep kejahatan tidak selalu dipersonifikasikan sebagai “setan” tunggal. Ada asura, simbol sifat tamasik dan rajasik—keserakahan, amarah, ego. Musuh terbesar bukan makhluk luar, melainkan nafsu dalam diri manusia yang tak terkendali.

4. Buddha
Buddhisme tidak mengenal setan sebagai makhluk jahat absolut. Ada Mara, simbol ilusi, keterikatan, dan keinginan duniawi. Lagi-lagi, sumber penderitaan bukan entitas luar, melainkan pikiran manusia sendiri yang belum tercerahkan.

5. Kepercayaan Lokal & Filsafat Timur
Banyak kepercayaan Nusantara memandang “roh jahat” sebagai cermin ketidakseimbangan manusia dengan alam dan sesama. Ketika manusia serakah, alam rusak; ketika manusia lalim, bencana sosial terjadi.

MENGAPA SETAN DICIPTAKAN?
Ini pertanyaan klasik tapi penting. Hampir semua agama sepakat pada satu hal:
tanpa pilihan, tidak ada moralitas.  Setan—dalam berbagai istilah—hadir sebagai alat ujian, bukan pengendali. Tanpa godaan, manusia hanyalah robot bermoral. Dengan godaan, manusia diuji: apakah memilih nurani atau nafsu.

Ironisnya, hari ini manusia tak lagi menunggu bisikan setan.
Manusia:
• menciptakan sistem yang menindas,
• merancang korupsi berjamaah,
• menghalalkan kerusakan alam demi laba,
• membunuh dengan dalih ideologi, agama, dan kekuasaan.

Jika setan masih bekerja, mungkin ia kini menganggur, sambil berkata:
“Aku hanya membisiki, kalian menyempurnakannya.”

KETIKA MANUSIA LEBIH JAHAT DARI SETAN
Setan menggoda satu per satu.
Manusia membangun industri kejahatan.
Setan menipu dengan bisikan.
Manusia menipu dengan regulasi, narasi, dan legitimasi hukum.

Setan bekerja di kegelapan.
Manusia berbuat jahat di siang bolong, sambil berpidato tentang moral dan iman.
Di titik ini, menyalahkan setan terasa seperti alibi murahan untuk menutupi kegagalan etika manusia.

PERLU KAH SETAN “DITARIK DARI PEREDARAN”?
Pertanyaan ini satir, tapi maknanya serius.
Menarik setan dari peredaran tidak akan otomatis membuat dunia lebih baik. Karena:
• Keserakahan manusia tidak akan ikut ditarik.
• Nafsu kekuasaan tidak akan ikut diborgol.
• Ego, iri hati, dan kebencian tetap tinggal.
Masalahnya bukan pada keberadaan setan, tetapi pada manusia yang enggan bercermin.

LALU, APA YANG HARUS DILAKUKAN MANUSIA
AGAR TIDAK MENCERMINKAN SIFAT-SIFAT SETAN?

Inilah inti persoalannya:
• Berhenti menyalahkan makhluk lain atas pilihan sendiri
Iman tanpa tanggung jawab hanya melahirkan kemunafikan.

• Menghidupkan nurani, bukan sekadar simbol agama
Agama yang hanya berhenti di ritual mudah berubah jadi topeng kejahatan.

• Mengendalikan keserakahan
Hampir semua kejahatan besar lahir dari satu akar: ingin lebih, tanpa peduli siapa yang hancur.

• Berani adil, bahkan saat merugikan diri sendiri
Setan takut pada manusia yang jujur dalam sunyi, bukan yang saleh di panggung.

• Memanusiakan manusia lain
Saat seseorang mulai melihat manusia lain sebagai angka, objek, atau musuh abadi—di situlah sifat setan bekerja.

PENUTUP: SETAN ITU AGAMANYA APA?
Jawaban paling jujur mungkin ini:
Setan tidak beragama. Tapi manusia bisa beragama dengan sifat setan.
Dan itu jauh lebih berbahaya. Karena setan tahu dirinya setan. Manusia sering merasa suci, sambil terus menyakiti.

Maka sebelum bertanya “setan itu agamanya apa?”, lebih penting bertanya:
iman kita melahirkan kasih, atau justru menyempurnakan kejahatan?

Kata  Bang Saik

(Sebuah perenungan diakhir tahun)